Kamis, 29 Agustus 2013

komunikasi pada Anak dengan Trauma Fisik dan Psikis Terhadap Perawatan Medis


Kendala Berkomunikasi pada Anak dengan Trauma Fisik dan Psikis Terhadap Perawatan Medis

2.1  Definisi Trauma Fisik dan Psikis pada anak
Trauma adalah cedera yang terjadi pada batin dan tubuh akibat suatu peristiwa tertentu. Keberadaan trauma sebagai suatu peristiwa yang pernah dialami sebenarnya. Jadi, bukan merupakan suatu masalah, namun biasanya efek dari trauma tersebut yang menimbulkan berbagai gangguan/keluhan, baik yang bersifat fisik, mental emosional, perilaku sosial, maupun spiritual.
Trauma psikologis anak didefinisikan sebagai ancaman fisik atau psikologis atau penyerangan kepada fisik anak, integritas, rasa diri, keselamatan atau kelangsungan hidup atau untuk keselamatan fisik orang lain signifikan terhadap anak.

2.2  Penyebab trauma fisik dan psikis anak
Hospitalisasi pada anak merupakan proses karena suatu alasan yang darurat mengharuskan anak untuk tingal di rumah sakit dengan menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangan kembali ke rumah. Selama proses tersebut, anak dapat mengalami berbagai kejadian yang menunjukkan pengalaman yang sangat trauma dan penuh dengan stress.
Pelayanan keperawatan dilakukan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan, mencegah penyakit, penyembuhan, pemulihan serta pemeliharaan kesehatan kepada seseorang untuk mencapai kondisi sejahtera dalam kesehatannya. Seorang anak sering kali mengalami trauma fisik dan psikis akibat pengalaman anak ketika pelayanan keperawatan yang diberikan oleh tenaga medis di Rumah Sakit. Trauma fisik dan psikis yang dialami anak tersebut dapat menjadi hambatan bagi perawat dalam proses berkomunikasi.
Lingkungan fisik dan psikososial dapat menjadi stressor bagi anak untuk menimbulkan trauma. Lingkungan fisik yang dapat menimbulkan trauma pada anak adalah lingkungan fisik rumah sakit, tenaga kesehatan baik dari sikap maupun pakaian putih, alat-alat yang digunakan dan lingkungan antar sesama pasien. Dengan adanya tekanan tersebut anak dapat mengalami gangguan tidur, pembatasan aktivitas, perasaan nyeri, kecemasan, kecewa, sedih hingga berdampak pada proses kesembuhannya.
Trauma fisik dan psikis anak akan mengahambat proses kesembuhannya, karena perasaan seseorang dapat berpengaruh terhadap cepat lambat kesembuhannya. Semakin perasaan dalam dirinya itu nyaman maka proses kesembuhannya akan berjalan semakin cepat. Lingkungan atau suasana rumah sakit yang terkesan menyeramkan dan membuatnya merasa asing dan kesepian karena berbeda dengan ketia ia masih berada di rumah bersama keluarga dan saudara-saudaranya.

2.3  Kendala yang di hadapi saat berkomunikasi
Trauma fisik dan psikis akan menghambat proses komunikasi perawat dengan pasien anak. Pelayanan kesehatan yang diberikan kepada anak dapat memberikan persepsi atau bayangan tertentu kepada anak, misalnya pada saat dilakukan injeksi pada anak atau saat pemasangan infus, pemberian obat, makan dan minum. Pengalaman masa lalu anak ketika diimunisasi memberikan dampak tertentu pada psikologinya, perasaan sakit yang di alami anak akan menimbulkan persepsi dalam dirinya bahwa perawat adalah orang yang sesalu menyakiti orang lain dengan tindakan-tindakan medisnya sehingga dia maerasa bahwa perawat telah menyakitinya dan timbullah rasa takut, cemas dan marah kepada perawat.
Proses komunikasi dengan anak terganggu karena ketakutan dan kemarahan anak terhadap perawat sehingga biasanya ketika perawat sedang bertugas dan memberikan pertanyaan kepada anak, anak tidak mau menjawab pertanyaan tersebut bahkan berontak terhadap pelayanan yang diberikan. Anak tidak menghiraukan perawat ketika di berikan pertanyaan-pertanyaan mengenai keluhan yang ia rasakan, menunjukkan sikap cuek karena kemarahan tersebut. Bahkan tak jarang pasien menjadi menangis saat di periksa oleh perawat karena ia cemas dan takut akan mendapat perlakuan yang menyakiti dirinya.
Saat perawat hendak memberikan injeksi kepada pasien anak, anak tersebut berontak dan bergerak kesana-kemari untuk menghindari perawatan yang akan di berikan. Menangis meronta-ronta merupakan tanda ketakutan anak terhadap apa yang pernah ia rasakan dan menjadi traumatis ketika ia menemukan hal tersebut kembali akan diberikan pada dirinya. Ketika perawat akan memasang infus pada pasien, anak yang belum pernah di berikan infuse pada awalnya mungkin akan terlihat biasa saja dan tidak tampak ketakutan pada dirinya karena dia belum mengerti, tidak ada traumatis pada dirinya, namun pemandangan tersebut akan berbeda ketika ia mulai melihat tindakan yang akan di berikan perawat, begitu ia melihat sesuatu yang hendak di pasang pada tubuhnya maka dia pasti akan melakukan penolakan.
Perasaan trauma dan takut terhadap tenaga medis juga berdampak ketika perawat memberikan obat kepada pasien. Rasa obat yang pahit atau tidak enak menimbulkan persepsi pasien bahwa perawat itu akan meracuni dia, sehingga pasien menangkis sendok obat yang akan di berikan. Ketika diberikan penjelasan pun pasien terkadang tidak menghiraukan karena perasaan takutnya, terus menerus menangis dan tidak mau untuk diobati.

2.4  Komunikasi oleh perawat
Dalam menangani hal tersebut, perawat perlu menggunakan cara-cara khusus dalam menghadapinya. Atraumatic care mungkin menjadi cara yang efektif untuk mengatasi masalah dalam berkomunikasi dengan anak. Atraumatic care adalah perawatan yang tidak menimbulkan adanya trauma pada anak. perawatan tersebut di fokuskan dalam pencegahan terhadap trauma dengan mengurangi dampak psikologis darai tindakan yang di berikan.
1.    Melibatkan orang tua pasien
Peran orang tua sangat diperlukan dalam mengatasi kesulitan berkomunikasi dengan anak trauma. Orang tua hendaknya dilibatkan dalam perawatan anak karena orang tua adalan orang terdekat dengan anak, sehingga akan lebih memahami keinginan anak dan orang tua juga mengerti tentang masa lalu atau riwayat yang pernah di alami anak terkait dengan perawatan medis. Karena dalam bayangan anak, perawat hanya akan menyakitinya sehingga dengan dilibatkannya orang tua maka anak akan merasa lebih nyaman dan tenang perasaannya ketika ada orang tua yang berada di sampingnya. Selain itu anak juga akan merasa mendapatkan perlindungan dari orang yang lebih menyayanginya yaitu orang tua. Perawat merupakan sosok yang asing bagi anak, karena perawat bukan anggota keluarga dan dia tidak mengenalnya sehingga anak menganggap perawat adalah orang jahat. Sehingga dengan adanya orang tua juga akan memberikan dukungan kepada anak bahwa perawat bukanlah orang yang jahat, tetapi orang yang akan membantunya untuk terbebas dari penyakit yang di derita.

2.    Memberikan penjelasan mengenai prosedur perawatan
Tidak dapat di pungkiri bahwa diinjeksi itu menyakitkan. Perawat sebaiknya menjelaskan tentang apa yang akan dia lakukan pada anak. memberikan pengertian khusus untuk mengurangi dampak ketakutan terhadap perawatan, “Adek, suster mau kasih adek sesuatu. adek pernah di suntik? Disuntik itu memang sakit adek, tapi adek tidak perlu khawatir ya manis, karena sakitnya itu cuma sebentar setelah itu adek bisa sehat kembali. Ya adek manis? Mau ya?”. Anak memang sangat sensitive terhadap hal-hal kekerasan, perawat sebaiknya menggunakan bahasa-bahasa yang halus dan menyejukkan hati anak agar hati anak tersebut menjadi sedikit luluh dan merasa bahwa perawat tersebut tidak akan menyakitinya.

3.    Membuat lingkungan menjadi nyaman
Membuat lingkungan menjadi nyaman dan tidak menakutkan atau menyeramkan bagi anak dengan memodifikasi lingkungan menjadi senyaman mungkin dengan dekorasi nuansa anak yang penuh keceriaan, tempat tidur bermotif warna-warni. Memberikan mainan anak agar tidak membuatnya jenuh ketika berada di rumah sakit, juga agar anak dapat beristirahat dengan nyaman meskiput tidak berada di rumahnya sendiri.

4.      Mengajak pasien bermain dan bercanda
Untuk mengurangi stress atau trauma yang dialami anak, perawat mengajak pasien untuk bermain dan bercanda. Karna itu akan menimbulkan keakraban pasien dengan perawat sehingga pasien akan menganggap perawat bukan orang yang asing lagi bagi dirinya dan tidak akan menyakitinya bahkan percaya bahwa perawat tersebut akan membantunya. Dengan candaan dan tawa, maka perasaan takut akan sedikit demi sedikit berkurang sehingga komunikasi antara anak dan perawat dapat berjalan efektif ketika perasaan anak sedang bahagia dengan gelak tawanya maka itulah kesempatan perawat untuk mendekatkan diri dengan pasien.

Sabtu, 25 Mei 2013

DOROTHY E JOHNSON


2.3 Konsep-konsep utama dan definisi
1.    Perilaku(Behavior)
Johnson menerima definisi perilaku seperti dinyatakan oleh para ahli perilaku dan biologi: output dari struktur dan proses-proses intra-organismik yang keduanya dikoordinasi dan diartikulasi dan bersifat responsive terhadap perubahan-perubahan dalam sensory stimulation. Johnson menfokuskan pada perilaku yang dipengaruhi oleh kehadiran aktual dan tak langsung makhluk sosial lain yang telah ditunjukkan mempunyai signifikansi adaptif utama.

2.    Sistem
Dengan memakai definisi sistem oleh Rapoport tahun 1968, Johnson menyatakan, “A system is a whole that functions as a whole by virtue of the interpedence of its part.” (sistem merupakan keseluruhan yang berfungsi berdasarkan atas ketergantungan antar bagian-bagiannya). Johnson menerima pernyataan dari Chin yakni terdapat “organisasi, interaksi, interpenden dan integrasi bagian dan elemen-elemen”. Disamping itu, manusia berusaha menjaga keseimbangan dalam bagian-bagian ini melalui pengaturan dan adaptasi terhadap kekuatan yang mengenai mereka.

3.    Sistem perilaku (Behaviora system)
Sistem perilaku mencakup pola, perulangan dan cara-cara bersikap dengan maksud tertentu. Cara-cara bersikap ini membentuk unit fungsi teroraganisasi dan terintegrasi yang menentukan dan membatasi interaksi antara seseorang dengan lingkunganya dan menciptakan hubungan seseorang dengan obyek, peristiwa dan situasi dengan lingkunganya. Biasanya sikap dapat digambarkan dan dijelaskan. Manusia sebagai sistem perilaku berusaha untuk mencapai stabilitas dan keseimbangan dengan pengaturan dan adaptasi yang berhasil pada beberapa tingkatan untuk efisiensi dan efektifitas suatu fungsi. Sistem biasanya cukup fleksibel untuk mengakomodasi pengaruh yang diakibatkannya.


4.    Subsistem
Karena behavioral sistem memiliki banyak tugas untuk dikerjakan, bagian-bagian sistem berubah menjadi subsistem-subsistem dengan tugas tertentu. Suatu subsistem merupakan “sistem kecil dengan tujuan khusus sendiri dan berfungsi dapat dijaga sepanjang hubunganya dengan subsitem lain atau lingkungan tidak diganggu”. Tujuh subsistem yang di identifikasi oleh Johnson bersifat terbuka, terhubung dan saling berkaitan (interealated). Motivasi mengendalikan langsung aktifitas subsistem-subsistem ini yang berubah secara kontinyu dikarenakan kedewasaan, pengalaman dan pembelajaran. Sistem yang dijelaskan tampak ada cross-culturally dan dikontrol oleh faktor biologis, psikologi dan sosiologi. Tujuh elemen yang diidentifikasi adalah attachment-affiliative, dependency, ingestive, eliminative, sexual, achievement dan aggressive.
1.    Subsitem Attachement-affiliative.
Subsistem attacement-afiliative mungkin merupakan yang paling kritis, karena subsistem ini membentuk landasan untuk semua organisasi sosial. Pada tingkatan umum, hal itu memberikan kelangsungan (survival) dan keamanan (security). Sebagai konsekuensinya adalah inklusi social, kedekatan (intimacy) dan susunan serta pemeliharaan ikatan social yang kuat. Contohnya seseorang yang hidup bertetangga pasti membaur dengan tetangganyauntuk mempertahankan atau menciptakan lingkungan kondusif.

2.    Subsistem Dependency.
Dalam hal paling luas, subsistem dependency membantu mengembangkan perilaku yang memerlukan respon pengasuhan. Konsukuensinya adalah bantuan persetujuan, perhatian atau pengenalan dan bantuan fisik. Pengembanganya, perilaku dependency berubah dari hampir, bergantung total kepada orang lain ke arah bergantung kepada diri sendiri dengan derajat yang lebih besar. Jumlah interpedency tertentu adalah penting untuk kelangsungan kelompok social.


3.    Subsistem Biologis
Subsistem biologis ingestion dan eliminasi “berkaitan dengan kapan, bagaimana, apa, berapa banyak dan dengan kondisi apa kita makan dan kapan, bagaimana dan dengan kondisi apa kita buang”. Respon-respon ini dikaitkan dengan sosial dan psikologis seperti halnya pertimbangan biologis.

4.    Subsistem Seksual
Subsistem seksual memiliki fungsi ganda yakni hasil (procreation) dan kepuasan (gratification). Termasuk- tapi tidak dibatasi- Courting dan mating, sistem respon ini dimulai dengan perkembangan identitas jenis kelamin dan termasuk (dalam cakupan yang luas) perilaku-perilaku berdasar prinsip jenis kelamin.

5.    Subsistem Agresif
Fungsi system agresif adalah perlindungan (protection) dan pemeliharaan (preservation). Hal ini mengikuti garis pemikiran ahli ethologi seperti Lorenz dan feshback bukanya dengan bantuan pemikiran perilaku sekolah. Dianggap perilaku agresif tidak hanya dipelajari tapi memiliki maksud utama membahayakan yang lain. Bagaimanapun, masyarakat meminta batasan-batasan tersebut diletakkan pada mode perlindungan diri dan orang-orang serta harta milik mereka dihormati dan dilindungi. Contohnya apabila seseorang sedang berada di kutub yang dingin, maka pertahanan diri orang tersebut memakai pakaian yang tebal.

6.    Subsistem Achievement
Subsistem achievement berusaha memanipulasi lingkungan. Fungsinya mengontrol atau menguasai aspek pribadi atau lingkungan pada beberapa standar kesempurnaan. Cakupan perilaku prestasi termasuk kemampuan intelektual , fisikis, kreatif, mekanis dan sosial.

Johnson kemudian mengidentifikasi konsep-konsep lain yang menggambarkan lebih jauh teori manusia sebagai sistem perilaku (behavioral system). Hal yang membedakan antara apa yang ada di dalam dan apa yang di luar sistem adalah ikatan (boundary). Ini merupakan titik (point) dimana sistem memiliki kontrol kecil atau pengaruh pada hasil-hasil. Equilibrium didefinisikan “sebagai kondisi akhir yang stabil tetapi lebih atau kurang kekal, dimana di dalamnya individu berada dalam keselarasan dengan dirinya dan dengan lingkunga-nya”. Homeostasis adalah proses menjaga stabilitas dalam sistem perilaku. Stabilitas adalah pemeliharaan suatu level atau daerah perilaku tertentu yang dapat diterima. Ketidakstabilan (instability) terjadi saat sistem mengalami overcompensate berkaitan dengan strees (tekanan). Ketika output energi tambahan digunakan untuk merespon terhadap tekanan, sumber energy yang dibutuhkan untuk menjaga stabilitas dikosongkan. Stressor adalah stimulan eksternal dan internal yang menghasilkan tegangan (tension) dan menyebabkan ketidakstabilan. Tensi adalah kondisi dalam keadaan tegang atau kendor. Ia disebabkan karena disequilibrium dan merupakan sumber potensi perubahan.


SEJARAH KEPERAWATAN


SEJARAH KEPERAWATAN

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS:
  1. Mengetahui sejarah keperawatan dunia
  2. Mengetahui sejarah keperawatan Indonesia


A. PENDAHULUAN
          Mempelajari sejarah keperawatan akan memberikan kebanggaan tersendiri, karena bisa mengingatkan kita pada perawat di masa lalu yang telah bekerja keras, hingga akhirnya kita bisa merasakan hasilnya seperti sekarang ini. Sejarah keperawatan akan membuka mata kita tentang bagaimana perkembangan keperawatan, bagaimana tantangan yang dihadapi dan apa yang akan dicapai oleh keperawatan di masa datang. Mengetahui masa lalu dan memahami keperawatan terdahulu akan memberikan suatu kesempatan untuk menggunakan pengalaman dan pelajaran yang dapat digunakan di masa kini dan masa depan.
   Lahirnya keperawatan dapat dikatakan bersamaan dengan penciptaan manusia, yaitu penciptaan Adam dan Hawa. Keperawatan lahir sebagai bentuk keinginan untuk menjaga seseorang tetap sehat dan memberikan rasa nyaman, pelayanan dan keamanan bagi orang yang sakit. Walaupun secara umum tujuan keperawatan relatif sama dari tahun ke tahun, praktik keperawatan dipengaruhi oleh perubahan kebutuhan masyarakat, sehingga keperawatan berkembang secara bertahap. Keperawatan yang kita ketahui saat ini tidak dapat dipisahkan dan sangat dipengaruhi oleh perkembangan struktur dan kemajuan peradapan manusia.
          Kepercayaan terhadap animisme, penyebaran agama besar di dunia serta kondisi sosial ekonomi masyarakat, seperti terjadinya perang, renaissance serta gerakan revolusi Luther turut mewarnai perkembangan keperawatan di dunia. Pada awal sejarahnya, keperawatan dikenal sebagai bentuk pelayanan komunitas dan pembentukannya berkaitan erat dengan dorongan alami untuk melayani dan melindungi keluarga (Donahue, 1995). Umur keperawatan sama tuanya dengan kedokteran. Sepanjang sejarah, profesi keperawatan dan kedokteran saling bergantung satu sama lain. Selama era Hipokrates, kedokteran bekerja tanpa perawat dan selama abad pertengahan, keperawatan bekerja tanpa dukungan medis (Donahue, 1995; Deloughery, 1995). Menurut sejarah, laki-laki dan perempuan telah memegang peran perawat, masuknya perempuan dalam keperawatan dimulai sekitar 300 M (Shryock, 1959; Donahue, 1995). Pada abad keenam jumlah laki-laki yang memasuki dunia keperawatan semakin meningkat.

B.  KEPERAWATAN ZAMAN PURBA
          Menggambarkan keperawatan pada zaman primitive merupakan hal yang sulit, juga sulit untuk membedakan peran dokter dan perawat. Pada masa itu, perawatan dan penyembuhan penyakit diperoleh dari penyebaran dari mulut ke mulut. Peran wanita tradisional sebagai istri, ibu, anak perempuan dan saudara perempuan selalu mencakup perawatan dan pengasuhan anggota keluarga yang lainnya. Istilah perawat (nurse)  berasal dari perawatan yang diberikan ibu kepada bayinya yang tidak berdaya.
Pada zaman purba (primitive culture), manusia percaya bahwa apa yang ada di bumi mempunyai kekuatan mistik/spiritual yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia. Kepercayaan ini disebut animisme. Mereka meyakini bahwa sakitnya seseorang disebabkan oleh kekuatan alam atau pengaruh kekuatan gaib seperti batu-batu besar,  gunung-gunung  yang tinggi, pohon-pohon yang besar, sungai-sungai yang besar, dll. Pada saat itu peran perawat tidak berkembang, masyarakat pada masa itu lebih senang pergi ke dukun untuk mengobatkan anggota keluarganya yang sakit. Masyarakat menganggap bahwa dukun lebih mampu mencari, mengetahui dan mengatasi roh yang masuk ke tubuh orang yang sakit.
          Fenomena animisme terlihat pada sejarah Bangsa Mesir dan Cina. Pada masa itu bangsa Mesir menyembah Dewa Isis, Dewa yang diyakini bisa menyembuhkan penyakit. Masyarakat Cina menganggap penyakit disebabkan oleh syetan atau makhluk halus dan akan bertambah parah jika orang lain memegang orang yang sakit, akibatnya perawat tidak diperkenankan untuk merawat orang yang sakit.

C. ZAMAN PERADAPAN KUNO
Pada masa ini, keyakinan mengenai penyebab penyakit masih mirip dengan zaman primitif, yaitu didasarkan pada takhayul dan magis, sehingga penyembuhan membutuhkan penyembuhan magis. Pendeta atau dokter penyihir menikmati status dalam masyarakat kuno. Sejalan dengan perkembangan peradapan, teori praktis perawatan medis yang muncul sebagai penyebab penyakit non-medis mulai terobservasi. Catatan tertua mengenai praktik penyembuhan ada pada lembaran tanah liat berusia 4000 tahun yang dihubungkan dengan peradapan Sumeria. Lembaran ini berisi tentang resep obat, tetapi tidak dituliskan untuk mengatasi penyakit apa.
Lontar Eber merupakan temuan kebudayaan Mesir. Lontar ini tertanggal sekitar tahun 1550 SM, dan dipercayai sebagai teks medis tertua di dunia. Lontar ini berisi uraian tentang banyak penyakit yang diketahui saat ini dan mengidentifikasi gejala spesifik. lontar Eber juga berisi 700 zat yang digunakan untuk obat-obatan disertai cara penyiapan dan penggunaannya. Mumifikasi atau pembalseman juga muncul pada masa ini, mumifikasi berasal dari keyakinan bahwa ada kehidupan setelah kematian. Dibutuhkan ilmu dan pengetahuan untuk membuat larutan yang bisa digunakan untuk mengawetkan mayat. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa itu sudah mengenal ilmu fisiologi, anatomi dan patofisiologi.
Bangsa Yahudi kuno menyumbangkan Mosaic Health Code. Kode ini dianggap sebagai legislasi sanitari pertama dan berisi catatan pertama mengenai syarat kesehatan masyarakat. Kode ini mencakup aspek individu, keluarga, dan kesehatan komunitas, termasuk di dalamnya membedakan antara yang bersih dengan tidak bersih.
Budaya Afrika kuno, fungsi pengasuhan yang dimiliki oleh perawat termasuk peran sebagai bidan, herbalis, ibu susu, dan pemberi perawatan untuk anak dan lansia (Dolan, Fitzpatrick, dan Herrmann, 1983). Budaya India kuno, sudah mengenal adanya perawat laki-laki yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a.  Pengetahuan mengenai cara mempersiapkan obat yang akan diberikan
b.  Pintar
c.  Mampu mencurahkan kasih sayang ke pasien
d.  Kemurnian pikiran dan tubuh
Adapun perawat wanita India bertindak sebagai bidan dan merawat anggota keluarga yang sakit. Peran perawat dalam budaya Cina kurang disebutkan, namun peran Cina kuno lebih banyak pada penemuan obat herbal, pemakaian akupunktur sebagai metode pengobatan, dan publikasi Nei Ching (canon of medicine), yang merinci empat langkah pemeriksaan: melihat, mendengar, bertanya dan merasakan.
          Sejarah Yunani dan Romawi kuno, perawatan orang sakit lebih maju dalam mitologi dan realitas. Dewa mitos Yunani yang dinggap sebagai  dewa penyembuh adalah Asklepios, istrinya Epigone adalah dewi penenang, Hygenia anak perempuan Asklepios adalah dewi kesehatan dan diyakini sebagai perwujudan perawat. Kuil yang dibangun untuk menghormati Asklepios menjadi pusat penyembuhan, pendeta kuil Asklepios memberikan penyembuhan melalui pengobatan natural dan supranatural (Donahue, 1996). Seorang dokter Yunani kuno, Hipocrates, mempercayai bahwa penyakit memiliki penyebab alami. Pernyataan Hipocrates ini sangat bertentangan dengan pendapat tabib pendeta di kuil yang mengatakan bahwa penyebab penyakit adalah magis dan mistik. Sedangkan kontribusi Romawi terhadap perawatan kesehatan adalah sanitasi umum, pengeringan rawa, dan pembangunan saluran air, tempat pemandian umum dan pribadi, sistem drainase, dan pemanasan sentral.

D. ZAMAN KEAGAMAAN
          Kemajuan peradapan manusia dimulai ketika manusia mengenal agama. Penyebaran agama sangat mempengaruhi perkembangan peradaban manusia sehingga berdampak positif terhadap perkembangan keperawatan. Pada permulaan Masehi, agama kristen mulai berkembang. Agama kristen cukup besar mempengaruhi profesi keperawatan. Salah satu catatan di awal sejarah digambarkan bahwa keperawatan merupakan bentuk  perintah dari Diakonia, suatu kelompok kerja seperti perawat kesehatan masyarakat atau yang mengunjungi orang sakit. Dalam awal kehidupan gereja, Diakonia dijalankan oleh perempuan yang ditunjuk oleh pimpinan gereja. Peran mereka adalah mengunjungi orang yang sedang sakit. Penunjukan dilakukan pada wanita yang memiliki status sosial yang tinggi. Pada masa ini, keperawatan mengalami kemajuan yang berarti seiring dengan kepesatan perkembangan agama kristen.
          Kemajuan terlihat jelas, pada masa pemerintahan Lord Constantine, ia mendirikan xenodhoecim  atau hospes dalam bahasa latin yaitu tempat penampungan orang yang membutuhkan pertolongan, terutama bagi orang-orang sakit yang memerlukan pertolongan dan perawatan. Kemajuan profesi keperawatan pada masa ini juga terlihat jelas dengan berdirinya Rumah sakit terkenal di Roma yang bernama Monastic Hospital. Rumah Sakit ini dilengkapi dengan fasilitas perawatan berupa bangsal perawatan, bangsal untuk orang cacat, miskin dan yatim piatu. Sejak abad pertengahan institusi yang bergerak dalam bidang sosial (1100 M sampai 1200 M) mulai bergerak merawat lansia, orang sakit dan orang miskin (Deloughery, 1995).
          Seperti di Eropa, pada pertengahan abad VI masehi, keperawatan juga berkembang di benua Asia. Tepatnya di Asia Barat Daya yaitu Timur Tengah seiring dengan perkembangan agama Islam. Pengaruh agama Islam terhadap perkembangan keperawatan tidak lepas dari keberhasilan Nabi Muhammad SAW dalam menyebarkan agama Islam. Kegiatan pelayanan keperawatan berkualiatas telah dimulai sejak seorang perawat muslim pertama yaitu Siti Rufaidah pada jaman Nabi Muhammad S.A.W, yang selalu berusaha memberikan pelayanan terbaiknya bagi yang membutuhkan tanpa membedakan apakah kliennya kaya atau miskin(Elly Nurahmah, 2001). Sementara sejarah perawat di Eropa dan Amerika mengenal Florence Nightingale sebagai pelopor keperawatan modern, Negara di timur tengah memberikan status ini kepada Rufaidah, seorang perawat muslim. Talenta perjuangan dan kepahlawanan Rufaidah secara verbal diteruskan turun temurun dari generasi ke generasi di perawat Islam khususnya di Arab Saudi dan diteruskan ke generasi modern perawat di Saudi dan Timur Tengah  (Miller Rosser, 2006)
          Prof. Dr. Omar Hasan Kasule, Sr, 1998 dalam studi Paper Presented at the 3rd International Nursing Conference "Empowerment and Health: An Agenda for Nurses in the 21st Century" yang diselenggarakan di Brunei Darussalam 1-4 Nopember 1998, menggambarkan Rufaidah adalah perawat profesional pertama dimasa sejarah islam. Dia tidak hanya melaksanakan peran perawat dalam aspek klinikal semata, namun juga melaksanakan peran komunitas dan memecahkan masalah sosial yang dapat mengakibatkan timbulnya berbagai macam penyakit. Saat kota Madinah berkembang, Rufaidah mengabdikan diri merawat kaum muslim yang sakit, dan membangun tenda di luar Masjid Nabawi saat damai. Dan saat perang Badr, Uhud, Khandaq dan Perang Khaibar dia menjadi sukarelawan dan merawat korban yang terluka akibat perang. Dan mendirikan Rumah sakit lapangan sehingga terkenal saat perang dan Nabi Muhammad SAW sendiri memerintahkan korban yang terluka dirawat olehnya.
          Konstribusi Rufaidah tidak hanya merawat mereka yang terluka akibat perang. Namun juga terlibat dalam aktifitas sosial di komuniti. Dia memberikan perhatian kepada setiap muslim, miskin, anak yatim, atau penderita cacat mental. Dia merawat anak yatim dan memberikan bekal pendidikan. Rufaidah digambarkan memiliki kepribadian yang luhur dan empati sehingga memberikan pelayanan keperawatan yang diberikan kepada pasiennya dengan baik pula. Sentuhan sisi kemanusiaan adalah hal yang penting bagi perawat, sehingga perkembangan sisi tehnologi dan sisi kemanusiaan (human touch) mesti seimbang. Rufaidah juga digambarkan sebagai pemimpin dan pencetus Sekolah Keperawatan pertama di dunia Isalam, meskipun lokasinya tidak dapat dilaporkan (Jan, 1996), dia juga merupakan penyokong advokasi pencegahan penyakit (preventif care) dan menyebarkan pentingnya penyuluhan kesehatan (health education)
          Memasuki abad VII Masehi, agama Islam tersebar ke berbagai pelosok negara dari Afrika, Asia Tenggara sampai Asia Barat  dan Eropa (Turki dan Spanyol). Pada masa itu di jazirah Arab berkembang pesat ilmu pengetahuan seperti ilmu pasti, ilmu kimia, hygiene, dan obat-obatan. Prinsip-prinsip dasar perawatan kesehatan seperti menjaga kebersihan diri (personal hygiene), kebersihan makanan, air dan lingkungan berkembang pesat. Masa Late to Middle Ages (1000 – 1500 M), negara-negara Arab membangun RS dengan baik, dan mengenalkan perawatan orang sakit. Ada gambaran unik di RS yang tersebar dalam peradaban Islam dan banyak dianut RS modern saat ini hingga sekarang, yaitu pemisahan anatar ruang pasien laki-laki dan wanita, serta perawat wanita merawat pasien wanita dan perawat laki-laki, hanya merawat pasien laki-laki (Donahue, 1985, Al Osimy, 2004).

KEPERAWATAN ABAD PERTENGAHAN
          Permulaan abad XVI, struktur  dan orientasi masyarakat mengalami perubahan, dari orientasi kepada agama berubah menjadi orientasi kekuasaan, yaitu perang, eksplorasi kekayaan alam serta semangat kolonialisme. Akibat dari hal tersebut adalah banyak tempat ibadah (termasuk gereja) yang ditutup, padahal tempat ini dijadikan tempat untuk merawat orang sakit.
          Di satu sisi, kenyataan ini berdampak negatif. Penutupan tempat ibadah menyebabkan kekurangan tenaga perawat karena sebelumnya, tindakan perawatan dilakukan oleh kelompok agama. Untuk memenuhi kebutuhan perawat, bekas wanita jalanan (wanita tuna susila) atau wanita yang bertobat setelah melakukan kejahatan diterima sebagai perawat. Kejadian ini melatarbelakangi asumsi negatif terhadap perawat, masyarakat beranggapan bahwa wanita terhormat tidak bekerja di luar rumah. Akibat reputasi ini perawat diupah dengan gaji rendah dengan jam kerja lama pada kondisi kerja yang buruk (Taylor. C.,dkk, 1989)
          Di sisi yang lain, adanya perang seperti perang Salib berdampak positif terhadap perkembangan keperawatan. Untuk menolong korban perang dibutuhkan banyak tenaga sukarela yang dipekerjakan sebagai perawat. Mereka terdiri dari kelompok agama, wanita-wanita yang mengikuti suaminya ke medan perang turut merawat orang sakit jika diperlukan dan tentara (pria) yang bertugas rangkap sebagai perawat. Pengaruh perang salib terhadap keperawatan adalah mulainya dikenal istilah P3K (Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan), pada masa itu keberadaan perawat mulai dibutuhkan dalam ketentaraan dan timbul peluang kerja bagi perawat di bidang sosial. Setelah perang Salib, kota-kota besar mulai berdiri dan berkembang dengan menurunkan faktor feodalisme. Perkembangan populasi penduduk yang luas di kota-kota tersebut menyebabkan munculnya masalah kesehatan, yang secara otomatis akan membutuhkan peran tenaga kesehatan (termasuk di dalamnya perawat).
          Kurangnya pemeliharaan kesehatan dan sanitasi serta meningkatnya kemiskinan di daerah pedesaan mengakibatkan munculnya masalah kesehatan yang serius pada abad kelima belas sampai abad tuju belas. Faktor-faktor sosial, seperti hukum yang menekan orang miskin dan pajak terhadap jendela rumah, menyebabkan menurunnya ventilasi karena pemilik rumah menutup jendela guna menghindari membayar pajak. Hal tersebut melahirkan suatu kondisi kesehatan yang memerlukan respon dari perawat.
          Pada tahun 1633 dibentuklah kelompok biarawati oleh St. Vincent de paul. Kelompok ini merawat orang-orang di rumah sakit, orang terlantar dan kaum miskin. Selanjutnya kelompok ini terkenal luas sebagai perawat keliling karena mereka merawat orang sakit di rumah-rumah. Pada masa ini juga mulai dirintis pendidikan keperawatan yang dipelopori oleh Louise de Gras. Program pendidikan yang diberikan saat itu adalah pengalaman merawat orang sakit di rumah sakit, dan juga melakukan kunjungan rumah. (Donahue, 1995)
          Peran rumah sakit terhadap perkembangan keperawatan tidak dapat diabaikan. Setidaknya ada tiga rumah sakit yang berperan besar terhadap perkembangan perawat pada zaman pertengahan. Pertama Hotel Dieu di Lion, meskipun pada awalnya pekerjaan perawat dilakukan oleh para mantan Wanita Tuna Susila (WTS) yang telah bertobat, namun rumah sakit ini berperan besar dalam kemajuan keperawatan. Hal ini disebabkan karena tidak lama kemudian pekerjaan perawat digantikan oleh perawat yang terdidik melalui pendidikan keperawatan di rumah sakit tersebut. Kedua, Hotel Dieu di Paris, dirumah sakit ini pekerjaan keperawatan dilakukan oleh kelompok agama, namun sesudah revolusi Perancis, kelompok agama dihapuskan dan pekerjaan diganti oleh orang-orang bebas yang tidak terikat agama. Ketiga, St. Thomas Hospital, didirikan tahun 1123 M, di rumah sakit inilah tokoh keperawatan Florence Nightingale memulai karirnya memperbarui keperawatan. Abad XVIII, pengembangan kota yang lebih besar membawa penambahan jumlah rumah sakit dan memperbesar peran perawat.
          Pada pertengahan abad XVIII dan memasuki abad XIX reformasi sosial masyarakat meruba peran perawat dan wanita secara umum. Pada masa ini keperawatan mulai dipercaya orang dan pada saat ini juga nama Florence Nightingale. Florence Nightingale lahir pada tahun 1820 dari keluarga kaya dan terhormat. Ia tumbuh dan berkembang di Inggris dengan pendidikan yang cukup. Meskipun ditentang keras oleh keluarganya, ia diterima mengikuti kursus pendidikan perawat pada usia 31 tahun. Pecahnya perang Krim (Crimean War), dan penunjukan dirinya oleh Inggris untuk menata asuhan keperawatan pada sebuah rumah sakit Militer milik Turki memberi peluang baginya untuk meraih prestasi (Taylor. C., 1989). Hal ini disebabkan karena ia berhasil mengatasi kesulitan atau masalah yang dihadapi dan berhasil menepis anggapan negatif terhadap wanita dan meningkatkan status perawat.
          Seusai perang krim, Florence Nightingale kembali ke Inggris. Sejarah perkembangan keperawatan di Inggris sangat penting dipahami karena Inggris membuka jalan bagi kemajuan dan perkembangan perawat di mana kepeloporan Florence Nightngale diikuti oleh Negara-negara lain. Tahun 1860, Nightingale menulis Notes on Nursing: What it is and What it is not untuk masyarakat umum. Filosofinya terhadap praktik keperawatan merupakan refleksi dari perubahan kebutuhan masyarakat. Ia melihat peran perawat sebagai seseorang yang bertugas menjaga kesehatan seseorang berdasarkan pengetahuan tentang bagaimana menempatkan tubuh dalam suatu status yang bebas dari penyakit (Nightingale, 1860; Schuyler, 1992). Pada tahun yang sama, ia mengembangkan program pelatihan untuk perawat pertama kali, sekolah pelatihan Nightingale untuk perawat di St. Thomas’ Hospital di London. Konsep pendidikan inilah yang mempengaruhi pendidikan keperawatan di dunia dewasa ini.
          Kontribusi Florence Nightingale bagi perkembangan keperawatan adalah menegaskan bahwa nutrisi merupakan satu bagian penting dari asuhan keperawatan, meyakinkan bahwa okupasional dan rekreasi merupakan suatu terapi bagi orang sakit, mengidentifikasi kebutuhan personal pasien dan peran perawat untuk memenuhinya, menetapkan standar manajemen rumah sakit, mengembangkan standar okupasi bagi pasien wanita, mengembangkan pendidikan keperawatan, menetapkan dua komponen keperawatan yaitu kesehatan dan penyakit, meyakinkan bahwa keperawatan berdiri sendiri dan berbeda dengan profesi kedokteran, dan menekankan kebutuhan pendidikan berlanjut bagi perawat (Taylor, C. 1989).
          Perang sipil (1860-1865) menstimulasi perkembangan keperawatan di Amerika Serikat.Clara Burton, pendiri palang merah Amerika merawat pejuang di medan pertempuran, membersihkan luka, memenuhi kebutuhan dasar, dan menenangkan para pejuang dalam menghadapi kematian. (Donahue, 1995). Setelah perang sipil, sekolah keperawatan di Amerika dan Kanada mulai membentuk kurikulum sendiri mengikuti sekolah Nightngale. Sekolah pelatihan yang pertama di Kanada, St. Catherina di Ontario didirikan tahun 1874. Tahun 1908, Mary Agnes Snively membantu terbentuknya The Canadian National Association of Trained Nurses, selanjutnya nama tersebut berubah menjadi The Canadian Nurses Association (CNA) pada tahun 1924. (Donahue, 1995). Tahun 1899 afiliasi Amerika dan Kanada berhenti, organisasi baru dibentuk dengan nama American Nurses Association (ANA) pada tahun 1911.       
          Keperawatan di rumah sakit berkembang pada akhir abad XIX, tetapi di komunitas,  keperawatan tidak menunjukkan peningkatan yang berarti sampai tahun 1893 ketika Lilian Wald dan Mary Brewster membuka The Henry Street Settlement, yang berfokus pada kebutuhan kesehatan orang miskin yang tinggal di rumah penampungan New York. Perawat yang bekerja di tempat ini memiliki tanggung jawab yang lebih besar terhadap klien daripada mereka yang bekerja di rumah sakit, karena mereka seringkali menghadapi situasi yang membutuhkan tindakan mandiri dari perintah dokter. Selain itu, dalam mengobati penyakit, orang miskin mmebutuhkan terapi keperawatan yagn ditujukan untuk memperbaiki nutrisi, memberikan penginapan, dan mempertahankan kebersihan. Kemajuan terlihat di rumah sakit, kesehatan masyarakat, dan pendidikan terjadi pada awal abad keduapuluhan. Pada masa itu mulai dirintis pendidikan keperawatan di tingkat universitas. Dengan berkembangnya pendidikan keperawatan maka praktik keperawatan juga mengalami perluasan. Pada tahun 1901 didirika The Army Nurses Corps, diikuti dengan berdirinya The Navy Nurses Corps pada tahun 1908. Spesialisi keperawatan juga mulai dikembangkan. Sekitar tahun 1920-an, dibentuk organisasi perawat spesialis, seperti Assosiation of Operating Room Nurses (1949), American Assosiation of Critical-Care Nurses (1969) dan Oncology Nursing Society (1975).
         
PERKEMBANGAN KEPERAWATAN DI INDONESIA
          Tidak banyak literatur yang  mengungkapkan perkembangan keperawatan di Indonesia. Seperti perkembangan keperawatan di dunia pada umumnya, perkembangan keperawatan di Indinesia juga dipengaruhi kondisi sosial ekonomi yaitu penjajahan pemerintah kolonial Belanda, Inggris dan Jepang serta situasi pemerintahan Indonesia setelah Indonesia merdeka. Perkembangan keperawatan di Indonesia pada dasarnya dibedakan atas masa sebelum kemerdekaan dan masa setelah kemerdekaan (orde lama dan orde baru).
          Pada masa pemerintahan kolonial Belanda perawat berasal dari penduduk pribumi yang disebut velpleger dengan dibantu zieken oppaser sebagai penjaga orang sakit. Mereka bekerja pada Rumah Sakit Binnen Hospital di Jakarta yang didirikan tahun 1799 untuk memelihara kesehatan staf dan tentara Belanda. Usaha pemerintah kolonial Belanda di bidang kesehatan pada masa itu antara lain: Dinas Kesehatan Tentara yang dalam bahasa Belanda disebut Militiary Gezondherds Dienst dan Dinas Kesehatan Rakyat atau Burgerlijke Gezondherds Dienst. Pendirian rumah sakit ini termasuk usaha Daendels mendirikan rumah sakit di Jakarta, Surabaya dan Semarang, ternyata tidak diikuti perkembangan profesi keperawatan yang berarti karena tujuannya semata-mata untuk kepentingan tentara Belanda.
          Ketika VOC berkuasa, Gubernur Jendral Inggris Raffles (1812-1816) sangat memperhatikan kesehatan rakyat. Berangkat dari semboyannya “Kesehatan adalah milik manusia”, ia melakukan berbagai upaya memperbaiki derajat kesehatan penduduk pribumi. Tindakan yang dilakukan antara lain: pencacaran umum, membenahi cara perawatan pasien dengan gangguan jiwa serta memperhatikan kesehatan dan perawatan para tahanan.
          Setelah pemerintahan kolonial kembali ke tangan Belanda, usaha-usaha peningkatan kesehatan penduduk mengalami kemajuan. Di Jakarta tahun 1819 didirikan beberapa rumah sakit, salah satu diantaranya adalah Rumah Sakit Stadsverband berlokasi di Glodok (Jakarta Barat). Pada tahun 1919 rumah sakit ini dipindahkan di Salemba dan sekarang bernama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Saat ini RSCM menjadi pusat rujukan nasional dan pendidikan nasional. Dalam kurun waktu ini (1816-1942), berdiri pula beberapa rumah sakit swasta milik katolik dan protestan, misalnya: RS Persatuan Gereja Indonesia (PGI) Cikini-Jakarta Pusat, RS St. Carolus Salemba-Jakarta Pusat, RS St. Boromeus di Bandung dan  RS Elizabeth di Semarang. Bersamaan dengan berdirinya rumah sakitdi atas, didirikan sekolah perawat. RS PGI Cikini tahun 1906 menyelenggarakan pendidikan juru rawat, kemudiam RSCM menyelenggarakan pendidikan juru rawat tahun 1912.
          Kekalahan tentara sekutu dan kedatangan Jepang (1942-1945) menyebabkan perkembangan keperawatan mengalami kemunduran. Bila renaissance berakibat buruk pada perkembangan keperawatan Inggris, maka penjajaan Jepang merupakan masa kegelapan dunia keperawatan di Indonesia. Pekerjaan perawat pada masa Belanda dan Inggris sudah dikerjakan oleh perawat yang terdidik, sedangkan pada masa Jepang yang melakukan tugas perawat bukan dari orang yang sudah dididik untuk menjadi perawat. Pemimpin rumah sakit juga diambil alih dari orang Belanda ke orang Jepang. Pada saat itu obat-obatan sangat minim, sehingga wabah penyakit muncul dimana-mana. Bahan balutan juga terbatas, sehingga daun pisang dan pelepah pisang digunakan sebagai bahan balutan.
          Pembangunan bidang kesehatan dimulai tahun 1949. Rumah sakit dan balai pengobatan mulai dibangun. Tahun 1952, sekolah perawat mulai didirikan, yaitu Sekolah Guru Perawat dan Sekolah Perawat tingkat SMP. Pendidikan keperawatan profesional mulai didirikan mulai tahun 1962 dengan didirikannya Akademi Keperawatan milik Departemen Kesehatan di Jakarta untuk menghasilkan perawat profesional pemula. Hampir bersamaan dengan itu didirikan pula Amper milik Depkes di Ujung Pandang, Bandung dan Palembang.
           Di Indonesia, keperawatan telah mencapai kemajuan yang sangat bermakna bahkan merupakan suatu lompatan yang jauh kedepan. Hal ini bermula dari dicapainya kesepakatan bersama pada Lokakarya Nasional Keperawatan pada bulan Januari 1983 yang menerima keperawatan sebagai pelayanan profesional (profesional service) dan pendidikan keperawatan sebagai pendidikan profesi (professional education). Dalam Lokakarya Keperawatan tahun 1983, telah dirumuskan dan disusun dasar-dasar pengembangan Pendidikan Tinggi Keperawatan. Sebagai realisasinya disusun kurikulum program pendidikan D-III Keperawatan, dan dilanjutkan dengan penyusunan kurikulum pendidikan Sarjana (S1) Keperawatan.
          Pengembangan pelayanan keperawatan profesional tidak dapat dipisahkan dengan pendidikan profesional keperawatan. Pendidikan keperawatan bukan lagi merupakan pendidikan vokasional/kejuruan akan tetapi bertujuan untuk menghasilkan tenaga keperawatan yang menguasai ilmu keperawatan yang siap dan mampu melaksanakan pelayanan/asuhan keperawatan profesional kepada masyarakat. Jenjang pendidikan keperawatan bahkan telah mencapai tingkat Doktoral. Pendidikan tinggi keperawatan diharapkan menghasilkan tenaga keperawatan profesional yang mampu mengadakan pembaruan dan perbaikan mutu pelayanan/asuhan keperawatan, serta penataan perkembangan kehidupan profesi keperawatan. Perkembangan keperawatan bukan saja karena adanya pergeseran masalah kesehatan di masyarakat, akan tetapi juga adanya tekanan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keperawatan serta perkembangan profesi keperawatan dalam menghadapi era globalisasi.
          Pendirian Program Studi Ilmu Keperawatan (PSIK) pada tahun 1985 merupakan momentum kebangkitan profesi keperawatan di Indonesia. Sebagai embrio Fakultas Ilmu Keperawatan, institusi ini dipelopori oleh tokoh keperawatan Indonesia, antara lain Achir Yani S, Hamid, DN.Sc; mendiang Dra. Christin S Ibrahim, MN, Phd; Tien Gartinah, MN dan Dewi Irawaty, MA, dibantu beberapa pakar dari Konsorsium Ilmu Kesehatan dan sembilan pakar keperawatan dari Badan Kesehatan Dunia (WHO). Pada tahun 2000 mulai muncul Program Studi Ilmu Keperawatan (PSIK) diberbagai Universitas di Indonesia (Universitas Airlangga, Universitas Gajah Mada, Universitas Hasanudin, Universitas Andalas dan Universitas Sumatra Utara).
          Tahun 1974 tepatnya tanggal 17 Maret didirikan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). Sebagai fusi dari beberapa organisasi keperawatan yang ada sebelumnya, PPNI mengalami beberapa kali perubahan bentuk dan nama organisasi. Embrio PPNI adalah Perkumpulan Kaum Verpleger Boemibatera (PKVB) tahun 1921. Pada saat itu profesi perawat Sangat dihormati oleh masyarakat berkenaan denga tugas mulia yang dilakukan dalam merawat orang sakit. Lahirnya sumpah pemuda 1928, mendorong perubahan nama PKVB menjadi Perkumpulan Kaum Verpleger Indonesia (PKVI). Pergantian nama ini berkaitan dengan semangat nasionalisme . PKVI bertahan sampai tahun 1942 berhubungan dengan kemenangan Jepang atas sekutu.
          Bersamaan dengan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, tumbuh organisasi profesi keperawatan. Tiga organisasi profesi yang ada antara tahun 1945-1954 adalah Persatuan Djuru Kesehatan Indonesia (PDKI), Persatuan Djuru Rawat Islam (Perjurais) dan Serikat Buruh Kesehatan (SBK). Pada tahun 1951 terjadi pembaharuan organisasi profesi keperawatan yaitu terjadi fusi organisasi yang ada menjadi Persatuan Djuru Kesehatan Indonesia (PDKI) sebagai upaya konsolidasi organisasi profesi tanpa mengikutsertakan SBK karena terlibat pada pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI).
          Kurun waktu 1951-1958 diadakan kongres di Bandung dan mengubah nama PDKI menjadi Persatuan Pegawai Dalam Kesehatan (PPDK) dengan keanggotaan bukan hanya dari perawat. Tahun 1959-1974 terjadi pengelompokan organisasi keperawatan antara lain Ikatan Perawat Wanita Indonesia (IPWI), Ikatan Guru Perawat Indonesia (IGPI) dan Ikatan Perawat Indonesia (IPI) tahun 1969. Akhirnya tanggal 17 Maret 1974 seluruh organisasi keperawatan kecuali Serikat Buruh Kesehatan bergabung menjadi satu organisasi profesi tingkat  nasional dengan nama Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). Nama inilah yang secara resmi dipakai sebagai nama organisasi profesi keperawatan Indonesia hingga kini.
Alhamdulillah..........